Rabu, 08 Februari 2012

40 Hari Nonsetop, Sehari 3 Panggung
HARI-HARI seperti ini cobalah datang ke perbatasan Kabupaten Pati dan Rembang. Bertanyalah pada tukang ojek atau sopir angkutan, pasti tak sulit untuk mendapatkan informasi tentang tempat pertunjukan ketoprak. Pada musim orang punya hajat dan kabumi (sedekah bumi) seperti sekarang, seni pertunjukan itu hampir setiap hari bisa ditonton lewat tanggapan di kawasan tersebut.
Minggu (5/6) lalu, misalnya, paling tidak ada lima grup ketoprak pentas siang-malam. Ketoprak Cahyo Mudho manggung di Desa Gunungngsari, Batangan Pati; Langen Marsudi Rini di Desa Nggrawan, Sumber, Rembang; Siswo Budoyo di Dungbacin, Nggrawal, Sumber, Rembang; Ronggo Budoyo di Mantingan, Jaken, Pati; dan Wahyu Budoyo di Samben, Kaliori Rembang. Cahyo Mudho dan Langen Marsudi Rini ditanggap untuk bersih desa, sedangkan tiga grup yang lain untuk sunatan dan pesta pernikahan.

...
"Tapi karena sekarang panen tidak begitu berhasil, tanggapan juga sepi. Untuk Madilakir (Jumadilakir-Red) nanti, baru ada 17 tanggapan, sebagian besar sehari-semalam. Tahun-tahun lalu, jika panen bagus, sebulan bisa manggung 25 hari 25 malam dalam sebulan," kata Kabul Sutrisno (65), Ketua Ketoprak Cahyo Mudha, yang beralamat di Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana, Pati.

Soal jumlah tanggapan yang berkurang, Pemimpin Langen Marsudi Rini, Rinny Riana (40), pun mengakui. "Sekarang apa-apa kan lagi sepi, tanggapan pun tak seramai tahun-tahun lalu. Tahun 1996 grup kami bisa tanggapan 40 hari nonsetop, tapi sekarang jauh berkurang, apalagi harus bersaing ketat dengan campursari dan dangdut," kata rol perempuan yang juga pemilik grup ketoprak itu.

A Yudi Siswoyo (56), Manajer Siswo Budoyo, malahan mengungkapkan "prestasi" tanggapan terkini yang tak kalah dari Cahyo Mudho. "Juni ini tanggapan kami hanya 21 kali, umumnya siang-malam. Tapi kalau disambung bulan berikutnya, 40 hari kami nonsetop. Biasanya malah full sebulan tidak ada lowongnya, tapi sekarang memang lagi berkurang," kata lelaki yang tinggal di Sukoharjo, Margorejo, Pati, itu. Diketuai oleh suami-istri Anom Sudarsono dan Kristin, Sekretariat Siswo Budoyo berada di Desa Growonglor, Juwana, Pati.

Memang di antara ketoprak "papan atas" di Pati, Siswo Budoyo boleh dibilang yang paling laris. Malahan beberapa kali kelompok ini tampil di layar kaca, termasuk di Indosiar beberapa pekan lalu.
Namun dalam soal stabilitas dan konsistensi, Cahyo Mudho-lah yang patut mendapat catatan khusus. Ketoprak yang awalnya bernama Budi Sampurno itu telah berdiri sejak 1955, dan sampai sekarang tetap eksis. Padahal, selama rentang waktu itu, berpuluh-puluh grup ketoprak telah tumbuh, sekarat, dan akhirnya mati karena aneka hal. Namun Cahyo Mudha, yang lebih dikenal dengan sebutan Ketoprak Bakaran itu tetap identik dengan legenda kejayaan ketoprak Pati. Jika ada orang haul, kata Kabul, ketopraknyalah yang selalu dipilih. Malahan sejumlah desa hampir bisa dipastikan, setiap tahun ketika digelar sedekah bumi, selalu nanggap Cahyo Mudho. "Di Desa Majolampir dan Nduni, Kecamatan Jaken, juga Klumpit, Karangbale, Dukuhmulyo, dan Glonggong di Kecamatan Jakenan, di samping Bakaran, setiap tahun kami selalu manggung untuk kabumi. Warga di desa itu percaya, kalau tidak nanggap Ketoprak Bakaran, panennya bisa gagal," ungkap Kabul, yang di desanya menjadi kaur umum itu.
Dari orang punya hajat, baik mantu, sunatan, maupun haul, grup kesenian itu memperoleh tanggapan. Di luar itu, acara sedekah bumi (bagi desa yang sebagian besar penduduknya menjadi petani) dan sedekah laut (bagi desa yang penduduknya sebagai petambak atau nelayan) merupakan pasaran tetap setiap tahun. Yang hingga kini terus berjalan, di kawasan Rembang-Pati, setiap dukuh -sebuah desa bisa terdiri atas beberapa dukuh- menyelenggarakan sedekah bumi atau sedekah laut dengan nanggap seni pertunjukan. Dan, di antara sekian banyak ragam kesenian, ketoprak dari grup papan ataslah yang dianggap paling bergengsi.
Lantas, berapa tarif untuk nanggap ketoprak-ketoprak itu? "Jika tak jauh-jauh tempatnya, sehari semalam tanggapan Wahyu Budoyo Rp 4 juta, sudah termasuk lampu, panggung, kostum, kelir, gamelan, dan sound system, " ungkap Yudi Siswoyo.
Kabul pun menyebutkan, dengan fasilitas yang sama, tarif pentas ketopraknya sehari-semalam Rp 4 juta. "Jika hanya semalam, terpautnya hanya Rp 200.000 dari pentas sehari semalam," katanya.
Rinny mengungkapkan, besaran tarif grupnya yang kurang lebih sama dengan grup "papan atas" lain. "Jaraklah yang sangat kami perhitungkan. Untuk pentas di Demak, misalnya, tarif kami bisa mencapai Rp 8 juta atau bahkan lebih," kata dia.
Jangan buru-buru mengira tanggapan sebesar itu akan habis untuk sewa kostum, gamelan, panggung, lampu, kelir, sound system, dan transportasi. Hal-hal yang bagi grup pemula sering menjadi beban terbesar karena harus diatasi dengan cara menyewa itu, justru tak menjadi soal bagi grup semacam Siswo Budoyo, Cahyo Mudho, dan Langen Marsudi Rini.
Semua fasilitas itu mulai dari gamelan, panggung, perangkat tata suara dan tata lampu, kelir, kostum, sampai angkutan telah mereka miliki. Siswo Budoyo, misalnya, untuk mengangkut semua alat dan properti pentas, telah memiliki tiga truk dan sebuah bus, di samping segala peralatan pendukung pentas yang lain.
Cahyo Mudho dan Langen Marsudi Rini pun memiliki fasilitas yang tak jauh berbeda. "Kalau semua harus nyewa, pemain dapat apa," kata Kabul Sutrisno.
Kejayaan dan larisnya tanggapan itu tentu saja turut memercikkan kemakmuran bagi para pemainnya. Dengan 65 personel, di tubuh Cahyo Mudha penghonoran didasarkan atas kelas pemain, yang terdiri atas A, B, dan C. Mulai yang terendah Rp 50.000 sampai Rp 200.000 untuk pemain wos (inti). "Pemain jumputan honornya bisa lebih tinggi lagi. Pemain yang sudah tua, yang terpaksa kita pensiunkan juga dapat honor, paling sedikit Rp 5.000 setiap kali ada tanggapan," ungkap Kabul.
Kabul pun menyebutkan, grupnya yang tergolong paguyuban itu juga selalu menyisihkan dana setiap mendapat tanggapan. "Selain untuk manganan (syukuran) di makam sesepuh, dana yang terkumpul untuk membantu anggota kami yang sedang sakit, meninggal, membangun rumah, ataupun punya hajat."
Meski diberlakukan tiga kelas, standar penghonoran personel Siswo Budoyo agak berbeda. "Ketoprak kami bukan ketoprak organisasi, melainkan ketoprak bos, ketoprak majikan. Mungkin honornya lebih rendah dari ketoprak organisasi, karena semua sisanya masuk bos, tapi segala hal yang berkaitan dengan operasional pentas ditanggung oleh pemilik. Pemilik juga yang memberikan semacam asuransi bila terjadi kecelakaan saat pentas dan santunan kepada personel yang sakit," kata Yudi Siswoyo. Dia juga menyebutkan, di grupnya honor tertinggi Rp 80.000 sekali pentas, sedangkan terendah Rp 35.000.
Meski mengaku menerapkan kelas personel dalam penghonoran, Rinny mengelak untuk menyebutkan besar honor yang dia berikan kepada para pemainnya. "Grup kami memang ketoprak majikan, kami sebagai pemiliklah yang menentukan besar honor pemain dan niyaga. Itu berbeda dari ketoprak organisasi atau paguyuban, yang segala sesuatunya harus dimusyawarahkan, termasuk untuk mengambil pemain lain. Yang pasti, kami menghonori teman-teman secara profesional. Pelawak, misalnya, bisa kami honori Rp 200.000. Jarak tempat pentas dari rumah tentu saja sangat kami perhitungkan," kata putri seniman ketoprak Sri Kencono yang pernah melambung lewat peran Ondho Rante, almarhum Suparjo, itu.
Memang para pemain wos akhirnya memiliki tarif sendiri-sendiri. Pelawak, emban, dan pemeran utama bertarif tinggi. Seorang pelawak bisa dibayar Rp 200.000 hingga lebih dari Rp 1 juta. Tak mengherankan jika Kancil, sekalipun sudah ikut bergabung dengan Ketoprak Humor di Jakarta, tetap aktif manggung di kawasan ini.

Sebagai pemain yang berkarakter, terutama dengan peran Sunan Kalijaga, pemain senior semacam Budiyono setiap kali dibon bayarannya tak kurang dari Rp 300.000. Padahal, sehari-semalam dia bisa hadir di tiga pementasan di tempat yang berbeda dan dalam waktu yang hampir bersamaan. "Bahkan, kalau saya tak bisa manggung, bayaran untuk grup kami bisa disunat Rp 250.000 oleh yang punya kerja," kata sesepuh dan pemain Bangun Budoyo, grup ketoprak dari Desa Karang, Kecamatan Juwana, Pati ini.
Sebagai pemain bon-bonan, honor yang pernah diterima Rinny Riana pun boleh dibilang "luar biasa". Ketika pentas di Desa Bakaran, Juwana, dengan grup lain, sekali manggung dia mendapat bayaran Rp 1,5 juta.(Sucipto Hadi Purnomo-bersambung-7t)
Sumber : Suara Merdeka Muria